Sabtu, 22 Januari 2011

KASUS KEPERAWATAN JIWA

KASUS ARIE HANGGARA

Tahun 1984 ketika seorang anak lelaki delapan tahun di Depok ditemukan meninggal akibat kekerasan orang tuanya, yaitu ayah kandung dan ibu tirinya. Pasca perceraian ayah dan ibunya, Arie ikut dengan ayahnya yang kemudian menikah kembali. Ayah Arie bekerja serabutan, sehingga penghasilannya tidak menentu. Dia kelihatan lebih sering di rumah menghabiskan hari-harinya untuk bersantai, sambil minta dilayani oleh istrinya, ibu tiri Arie. Karena itu ibu rumah tangga ini terpaksa membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan mereka. Akibatnya Arie tumbuh tanpa pengawasan dan pembangkang. Tugas Arie di hari kedua sebelum kematian adalah membersihkan kamar mandi. Tapi Arie malas-malasan. Namanya saja anak kecil,dia mainlah kerjanya di kamar mandi. Main percik-percik air. marahnya ini pendekar penganggur. Arie dipanggil. Bergeraklah tangan si Tino penganggur ini ke pantat arie. Dihukumlah anak ini berdiri jongok. Disuruh ngitung 300-an kali.

Kakak dan adiknya melihat Arie yang terhuyung-huyung mengantuk sambil memeluk lutut di lantai menjalani hukuman yang mestinya tak boleh ditanggungnya. Ia tak boleh makan, adik dan kakaknyalah yang diam-diam memberinya biskuit. Tatkala mereka menawarkan diri memberi Arie minum, Arie menolak. Dan malapetaka itu pun terjadi.

Pada 7 November 1984, si Tino pengangguran ini ketemu teman-temannya penjudi dan pemabuk. Maklum frustrasi mendaftar kerja, nggak dapet-dapet, mendaratlah dia di sini. Apa boleh buat. Frustrasi betul ia. Nggak ada kerjaan, istri sering ngomel karena jobless-nya ini, dan Arie tetap saja tak mau tunduk aturan.

Santi pada malam malapetaka dan besoknya Arie dan Tino akan berangkat ke Jatim itu masih manis menasihati Arie untuk minta maaf saja sama si Tino penganggur dan sekarang pemabuk itu. Tapi Arie tak melakukannya, malah dibilangnya sama ibu tirinya itu, dia lebih baik dihukum terus saja. Maka menyambarlah tangan si Santi yang mendorong Arie ke dinding. “Arie, besok kita akan berangkat. Sekali ini Papa minta agar Arie jadi anak yang baik. Nah, malam ini Papa ingin melihat Arie minta maaf sama Papa dan Mama,” pinta Tino sepulang dari mabok di malam jahanam itu.

Namun apa jawabnya? “Pukul Arie sajalah, Pa. Arie kan nakal,” katanya sambil garuk-garuk kepala. Tino berdiri dan menggampar pantat kecil anak malang ini. “Yang benar, Arie!” raungnya sementara Santi duduk sambil menjahit di ruang makan… Mata Arie yang lebam kebiruan memandang sendu bapaknya. Tak tahan memandang mata anak itu, diambilnya tongkat sapu. Diganyangnya pantat itu dengan pukulan bertalu-talu. Menjeritlah Santi melihat ulah si Tino. Anak ini menatap bapaknya dengan sangat tajam, tapi raut wajah dingin yang mengerikan. Lalu dengan kesal dan kalap satu tamparan keras menghantam pipi kiri Arie dan terjungkalah ia ke lantai. Belum mati. Lalu si Tino memberinya air minum. Arie tetap di dekat tembok menjalani hukuman. Mereka sempat pelukan dan suara Tino sudah mengendur. Mungkin capek menghadapi sikap Arie yang dingin, patuh, tapi kepatuhan yang melawan. Dan Arie minta minum lagi. Tapi Tino mengancam, setelah dia diberi minum, tidak boleh lagi minum tanpa seizinnya. Arie pun dengan datar berjanji untuk tak minum lagi.

Mungkin karena jiwa anak ini sudah mau bunuh diri di tangan ayahnya sendiri, dia melanggar. Dia mengambil air minum, tapi gesekan gelasnya di dengar oleh Tino. Tino bangun dan lupa bahwa mereka besok mau ke pesantren. Dia kalap. Arie, anak malang ini, harus menjadi santapan kemarahan jam dua dini hari itu. Tak ada teriakan. Tak ada rintihan. Tak ada apapun keluar dari mulut anak yang sudah mencium bau kematian sejak 6 November ini yang bahkan satu jam sebelum kematiannya dia sudah berpesan kepada dua saudaranya bahwa ia akan pergi dengan sangat jauh. Arie terjatuh di lantai. Paniknya Tino dan Santi subuh itu melihat anak itu dan membawanya ke RS dalam kondisi yang sebetulnya sudah tak bernyawa.

Ada raut sesal berkecamuk di hati Tino. Matanya bersimbah airmata melihat Arie terbujur kaku di atas ranjang roda berkain putih yang ditarik perawat putih-putih menuju dunia putihnya. Lalu koran-koran ibukota terbit sore pun menulis dengan besar di halaman depan kematian tragis bocah malang Arie Hanggara. Arie adalah korban dari perceraian orang tuanya.

Jika ditilik, kasus ini merupakan kasus KDRT yang dimeja-hijaukan untuk pertama kalinya. Di sini sebetulnya ada dua korban, bukan semata-mata hanya Arie. Ibu tirinya juga korban dari kesewenang-wenangan suaminya yang kurang bertanggung jawab, sehingga dapat dikategorikan telah melakukan tindak kekerasan ekonomi kepadanya. Pengangguran, kemiskinan dan rendahnya pendidikan adalah pangkal awal dari kekerasan ekonomi. Seseorang yang menganggur dan miskin tapi mempunyai cukup bekal pendidikan, tentu masih bisa menghasilkan uang untuk menghidupi keluarganya sepanjang ada kemauan. Dia bisa menawarkan jasa apa saja untuk menafkahi keluarganya, sesuai amanat UU Perkawinan 1/1974 pada kaum lelaki. Tetapi jika kurang berpendidikan, akan sulit baginya memperoleh pekerjaan atau menciptakan lapangan kerja karena ketiadaan modal. Sebab tak ada sebuah lembagapun yang mau meminjaminya modal dengan gratis. Dari uraian itu, kita bisa juga melihat bahwa ayah Arie sendiri, terlepas dari sifat buruknya, dapat dikatakan sebagai korban kekerasan. Perempuan mana yang senang melihat suaminya penganggur yang tak punya inisiatif? Padahal di belakangnya ada anak-anak mereka yang harus dihidupi termasuk anak bawaan suaminya sendiri. Akibatnya istri akan sering mengomel tidak saja hanya kepada anak-anaknya terutama si anak tiri, tetapi sudah barang tentu kepada suaminya sendiri. Dapat dipastikan sumpah serapah akan mengalir lancar dari mulutnya, sama lancarnya dengan keringat yang mengucur deras akibat kesibukannya membanting tulang setiap hari.

Dapat dibayangkan, menghadapi caci-maki istrinya, sang suami akan naik darah. Rasa tersinggungnya meledak karena dia merasa frustrasi/marah menghadapi dua kondisi, di dalam dan di luar rumah tangganya. Di dalam dia jengkel dan malu kepada sang istri, sedang di luar dia benci akan kondisi sulitnya mendapatkan pekerjaan. Hal inilah yang dapat dikatakan sebagai kekerasan terhadap lelaki.

Pada anak-anak, tidak akan mungkin ada laporan ke kepolisian, kecuali atas inisiatif orang-orang dewasa di dekatnya yang menaruh iba. Tapi sesungguhnya si ibu yang seharusnya bisa melaporkan kekerasan yang menimpanya, juga tidak akan berani melapor. Ada alasan tertentu yang menyebabkan istri takut melapor ke polisi. Padahal hukuman badan sangat diperlukan untuk membuat seseorang pelaku kekerasan menjadi jera.

Sidang perceraian tidak pernah memakai hukum pidana yang tertera di KUHP karena pola masyarakat patriarkhi beranggapan bahwa masalah rumah tangga adalah masalah domestik yang tidak memerlukan campur tangan publik. Cukup diselesaikan di dalam rumah oleh keluarga masing-masing. Atau jika memilih berpisahan, diselesaikan di Pengadilan Agama dengan Hukum Islam. Oleh karena itu kemudian dibuatkan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) no. 23/2004 yang merupakan implementasi dari konvensi penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang diserukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan telah diratifikasi pemerintah RI pada tahun 1984.

A. Faktor Penyebab kekerasan pada anak

Faktor presipitasi :

a) Stress keluarga

kemiskinan pengangguran mobilitas, isolasi, perumahan tidak memadai, anak yang tidak diharapkan dan lain sebagainya.

b) Stress berasal dari anak

kondisi anak yang berbeda, atau anak adalah anak angkat

Faktor predisposisi :

a) Pecandu alkohol atau narkoba

Para pecandu alkohol dan narkoba seringkali tidak dapat mengontrol emosi dengan baik, sehingga kecenderungan melakukan penyiksaan lebih besar.

b) Norma sosial, yaitu tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada anak-anak, maksudnya ketika muncul kekerasan pada anak tidak ada orang di lingkungannya yang memperhatikan dan mempersoalkannya. Rakhmat (2003)

c) Nilai-nilai sosial, yaitu hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat. Dalam hirarkhi sosial seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa pun, sedangkan orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak;

Pengertian kekerasan pada anak

Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga (www.ocn.ne.jp) adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah. Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.

B. dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse) , antara lain :

1) Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia;

2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri

Anak-anak korban kekerasan

umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.

Menurut Sitohang (2004), bentuk-bentuk kekerasan pada anak meliputi;

1) Penganiayaan fisik, Non Accidental “injury” mulai dari ringan “bruiser laserasi” sampai pada trauma neurologic yang berat dan kematian. Cedera fisik akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun;

2) Penelantaran anak/kelalaian, yaitu kegiatan atau behavior yang langsung dapat menyebabkan efek merusak pada kondisi fisik anak dan perkembangan psikologisnya;

3) Penganiayaan emosional yaitu ditandai dengan kecaman/kata-kata yang merendahkan anak, tidak mengakui sebagai anak. Penganiayaan seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain;

4) Penganiayaan seksual, mempergunakan pendekatan persuasif. Paksaan pada seseorang anak untuk mengajak berperilaku/mengadakan kegiatan seksual yang nyata, sehingga menggambarkan kegiatan seperti : aktivitas seksual (oral genital, genital, anal atau sodomi) termasuk incest.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran anak.

C. Peran perawat :

1. Memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban. Disini perawat dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan. Perawat berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya melalui upaya pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi lingkungan sosial budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder dengan penerapan asuhan keperawatan sesuai permasalahan yang dihadapi klien, dan pencegahan tertier melalui pelatihan atau pendidikan, pembentukan dan proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi.

2. Memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan.

3. Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.

4. Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai bekal perawat untuk mendampingi korban.

5. Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai bekal perawat untuk mendampingi korba


Tidak ada komentar:

Posting Komentar